seri komunikasi inovasi

asalamualaikum  ditahun baru masehi ini saya  mempublikasikan tulisan saya buat saat menyelesaikan tugas kelompok komunikasi inovasi saya yang diasuh oleh Elfiandri Msi  semoga bermanfaat

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian perubahan social
        Perubahan social adalah proses  yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsure-unsur budaya dan system-sistem social, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsure-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan system social lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, buadaya dan system social baru.[2]
Perubahan social terjadi ketika ada kesediaan anggota masyarakat untuk meninggalkan unsure-unsur, system, budaya lama dan menganut system budaya baru, perubahan social mencangkup seluruh kehidupan masyarakat diseluruh tingkat.
Hal-hal penting dalam perubahan social menyangkut aspek-aspek sebagai berikut  yaitu
  1. perubahan pola pikir masyarakat, menyangkut sikap masyarakat terhadap persoalan social dan budaya disekitarnya. Yang berakibat terjadinya pemerataan pola piker baru yang dianggap sebagai sebuah sikap modern.
  2. perubahan perilaku masyarakat, kedua perubahan perilaku masyarakat menyangkut persolalan system social, dimana masyarakat meninggalakan system social lama dan menganut system social baru.
  3. perubahan budaya materi, perubahan yang menyangkut perubahan artefak budaya, seperti model pakaian, teknologi, karya film dan lain-lain.

2.2. Pengertian hukum    
        Sedangkan pengertian hukum adalah suatu bagian dari nilai dan norma social di masyarakat, yang dibentuk secara formal dan berprosedur bertugas memaksakan diataatinya kaidah-kaidah social yang berlaku inilah yang lazim dikenal dengan badan peradilan. Apabila suatu mores memerlukan kekuatan organisasi peradilan semacam itu agar penataannya bisa dijami, maka sesegera itu pula mores bisa dipandang sebagai hukum.[3] Seperti yang telah dikemukakab diatas hokum terbentuk dari mores (segala norma yang secara moral dianggap benar) yang ada dimasyarakat, hanya saja mores ini yang dahulu peradilannnya diserahkan kepada masyarakat secara kolektiv, sekarang lebih terorganisir secara organisasional agar penegakkannya lebih terjamin dan formal.
         Introduksi hokum formal menandai munculnya masyarakat modern, yakni munculnya institusi pengadilan yang bebas. Ini membawa konsekuensi pada pemisahan bidang ekonomi dari cengkraman pemerintah dan kekuasaan agama, sebab tingkat intermediate ekonomi masih dibawa control kekuasaan politikn dan agama. Masuknya hokum formal akan membawa dampak berikut individu tidak lagi mendasarkan ketaatan pada kekuatan tradisional, seperti agama atau kekuatan gaib dan kekuatan perseorangan, melainkan lebih tergantung pada kekuatan hokum ( ekonomi). Orientasi hokum formal bersifat universal, kepada seluruh warga tanpa memandang status hirearki seseorang.[4] Hal inilah yang mendorong terjadinya perubahan social di masyarakat karena dengan ditetapkan satu nilai universal yaitu hokum formal masyarakat dapat dengan bebas bergerak dan bermobilitas maupun secara fisik maupun secara social yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan social.

2.3. Peranan hukum dalam perubahan sosial  di Indonesia.
        Seperti yang telah dikemukakan diatas  aspek perubahan social yaitu perubahan pola pikir menekankan pada pemerataan pola pikir baru yang dipandang sebagai sikap modern masyarakat menyangkut persolalan social, budayanya. Disini terlihat bahwa modernisasi ialah  persepsi awal dari perubahan social.
      Dalam paradigma awal pembangunan dimana pembangunan sebagai proses modernisasi yang dipakai saat 1940 sampai pertengahan 1960-an  didasarkan pada serangkaian asumsi, bahwa;
1.      pembangunan identik dengan pertumbuhan.
2.      pertumbuhan dapat dicapai dengan penerapan ilmu-ilmu dari teknologi barat  kepada problem produksi, semua masyarakat melalui suatu rangkaian pertumbuhan dicerminkan melalui kemampuan mereka berinvestasi dan pemanfaatan perangkat ilmu dan teknologi,
3.      sementara pertumbuhan berlangsung, institusi social dan politik masyarakat tradisional akan digantikan bentuk-bentuk modern dalam kenyataan social, hal ini berarti  penggantian pola-polakewajiban identifikasi lebih komunal dengan motivasi lebih individulaistik.
4.      bentuk-bentuk kekuasaan politik tradisional dan feodal akan digantikan oleh bentuk-bentuk peraturan yang lebih demokratis.
5.      konvergensi masyarakat-masyarakat menuju model modernisasi ini akan menghasilkan tatanan global yang tidak mendukung konflik-konflik ideologis.[5]
 Dapat terlihat dalam asumsi pembangunan sebagai proses modernisasi  beberapa poin diatas memerlukan peran hukum dalam pelaksanaannya seperti pada poin pada poin ketiga, keempat, kelima, memerlukan hokum formal dalam penerapannya karena hokum formal memberikan, suatu nilai tunggal yang universal yang memudahkan dalam pelasanaan asumsi tersebut khususnya poin keempat yang menekankan pentingnya demokrasi dalam pembentukkan peraturan.
        Sedangkan diIndonesia pada waktu yang lalu peranan negara sangat menonjol sebagai agen pembangunan. Akibatnya hak-hak politik warga negara kerapkali terdesak untuk memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini lahir dari pandangan bahwa hak-hak polilik dan hak-hak warganegara menghambat pertumbuhan ekonomi. Kemajuan sosial dan ekonomi dapat dicapai dengan lebih efektif, bila usaha-usaha Pemerintah tidak dihalangi oleh oposisi. Pandangan ini ternyata membawa krisis berat dibidang ekonomi, polilik dan hukum. Sebenarnya inti dari demokrasi adalah “pembagian kekuasaan” diantara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat national, termasuk hak untuk menyatakan pendapat dan bersaing mendapat kesempatan membuat atau mempengaruhi keputusan-keputusan. Unsur yang penting adalah terdapatnya mekanisme arus balik dan penyesuaian yang mendorong pemerimah menjawab dan menyesuaikan sikap terhadap pandangan-pandangan lain.
            Di dalam proses perubahan-perubahan sosial dikenal pula saluran-salurannya yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, yang pada umumnya merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dalam masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan lembaga terpokok, tergantung pada fokus sosial masyarakat dan pemuka-pemukanya pada suatu masa tertentu. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung untuk menjadi sumber atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial.
          Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang merupakan suatu konstruksi dengan pola-pola tertentu serta keseimbangan yang tertentu pula. Apabila hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi ditinjau dari sudut aktivitasnya, maka kita akan berurusan dengan fungsinya. Sebenarnya fungsi tersebut lebih penting oleh karena hubungan antara unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu hubungan fugsional.[6]
        Selanjutnya, dalam situasi perubahan sosial dimana individu,  kelompok, maupun suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, hak-hak azasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan atau suku. Uraian tersebut diatas baru menyinggung substansi hukum, salah satu unsur dari sistem hukum. Tidak kurang pentingnya. Bahkan amat menentukan, untuk mengadakan pembaruan dua unsur lainnya yaitu pembaruan aparatur hukum dan budaya hukum (legal culture).
Pertama, penguatan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif  amat mendesak untuk mencapai tiga tujuan pembangunan tersebut sekaligus. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan-badan tersebut harus mencerminkan keseimbangan tiga nilai yang saling bersaing: persatuan bangsa, pemulihan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bagaimana suatu Undang-Undang yang diajukan oleh badan legislatif atau eksekutif dan Keputusan-Keputusan Pengadilan mampu mengakomodasi ketiga nilai tersebut. Sudah waktunya DPR  mendapatkan bantuan tenaga ahli berbagai bidang. Disamping itu menentukan juga adanya Pengadilan yang mandiri dan bersih.[7]                                                           
          .Untuk ini perubahan beberapa undang-undang yang menyangkut kekuasaan kehakiman mutlak dilakukan. termasuk dimungkinkannya hakim diangkat dari luar lingkungan Pengadilan, asal memenuhi syarat keahlian dan integritas.[8]
Kedua, Friedman mengatakan bahwa budaya hukum  (legal culture)  adalah unsur yang utama untuk dapatnya suatu sistim hukum berjalan. Yang dimaksudkan dengan budaya hukum adalah persepsi masyarakat terhadap hukum  dan sistim hukum, pandangan, nilai, idea dan pengharapan-pengharapan mereka terhadap hukum.
Kita memerlukan “legal culture” yang secara serentak dapat mendukung tiga tipe hukum, sarjana hukum dan institusi hukum; yaitu, dapat mencegah disintegrasi.yang ahli untuk ikut memulihkan ekonomi dan yang dapat mendorong  keadilan sosial, kesejahteraan manusia, distribusi yang adil akan hak dan kewajiban, tugas dan beban yang sesuai dengan hukum. Disamping itu, untuk mencapai tiga tujuan tersebut sekaligus terdapat  kebutuhan yang besar akan kemampuan untuk menyeimbangkan tiga nilai-nilai yang berbeda dalam proses pembuatan keputusan, bagaimanapun juga konflik tidak dapat dihindarkan, tetapi suatu masyarakat yang stabil dapat menemukan jawabannya.
Umpamanya, metode yang paling langsung untuk mengatasi gerakan separatis mungkin dengan menggunakan kekuatan militer, Namun penggunaan kekerasan, bukan pilihan yang selalu tepat, Reaksi terhadap tindakan yang semacam itu mungkin bisa mengurangi kepercayaan investor, terganggunya prasarana ekonomi Setempat dan keengganan masyarakat lokal untuk mengambil bagian dalam proses mobilisasi social yang menjadi salah satu unsure dari perubahan sosial.
Begitu juga, kesejahteraan sosial mungkin bisa dicapai dengan memberikan setiap orang menurut  apa yang ia perlukan, Namun langkah tersebut dapat mengikis secara perlahan persatuan nasional, yang secara normal harus membuat konsesi kepada ekonomi nasional dan regional, karena kesejahteraan ekonomi yang didasarkan pada hokum dapat mempermudah adopsi aspek perubahan social yaitu perubahan budaya materi yang akhirnya berujung pada perubahan perilaku yang membawa kepada modernisasi nasional dan regional.





[2] Burhan Bungin, Sosiologi komunikasi Teori Para Digma Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat, Kencana, Jakarta , 2008, Hlm 91
[3] J Dwi Narwoko Dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan Edisi Kedua, Kencana, Jakarta , 2007, Hlm 53-54
[4] Ibid, hlm 375
[5] Zulkarimen Nasution, Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori Dan Penerapannya Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta , 1998, Hlm 35-37
[7]  Benny K.Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Elsam, Jakarta , 1997, hlm .404-444.
[8] Mengenai perbaikan Lembaga peradilan lihat antara lain Ari Muhammad Arief, dkk, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : ICEL-LEIP,1999). h.33-64. Reformasi Hukum di Indonesia (Terjemahan; Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia World Bank Project) (Jakarta : PT. Siber Konsultan,1999) hlm,133-141. 

Komentar

Postingan Populer